Reportase Diskusi Serial Jaringan AKSI ke-2 Mendengar Suara Anak dan Kaum Muda: Pengalaman Pendampingan Kekerasan Terhadap Anak di Masa Pandemik COVID-19

Reportase Diskusi Serial Jaringan AKSI ke-2 Mendengar Suara Anak dan Kaum Muda: Pengalaman Pendampingan Kekerasan Terhadap Anak di Masa Pandemik COVID-19

Zoom, Diskusi serial Jaringan AKSI ke-2 telah diselenggarakan pada hari Rabu, 20 Mei 2020. Acara daring ini berlangsung selama 2,5 jam melalui aplikasi Zoom. Acara yang cukup padat ini ternyata menarik perhatian hingga dihadiri 100 peserta dari 184 peserta pendaftar. Acara yang tidak disiarkan melalui live youtube maupun facebook ini karena memperhatikan hak keamanan bagi anak yang juga sebagai pembicara.

Diskusi bertema “Mendengar Suara Anak dan Kaum Muda: Pengalaman Pendampingan Kekerasan Terhadap Anak di Masa Pandemik COVID-19” diadakan guna untuk mendengarkan suara anak dan perwakilan anak serta mendapatkan tanggapan dari lembaga pemerintahan terkait.

Acara yang dipandu oleh Aditya Septiansyah, Presidium Jaringan AKSI, menghadirkan empat pembicara dan tiga penanggap. Mereka adalah Rani Hastari dari Yayasan Plan International Indonesia (YPII), Suci Apriani dari Kelompok Perlindungan Anak Desa (KPAD), Yuyun Yuningsih (Bilic Bandung), serta Abdul Gilang Tawakkal dari Forum Anak Nasional (FAN). Sedangkan penanggap dihadiri oleh Nyimas Aliah (Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak), Ninik Rahayu (Ombudsman RI), dan Ranti (Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan).

Menurut Rani Hastari, di masa pandemi ini, YPII melakukan survei melalui daring dan luring terkait kekerasan terhadap anak dan kaum muda. Menurut hasil survei terhadap anak dan kaum muda, hal tidak nyaman yang dialami oleh anak dan kaum muda selama masa pandemik (berdasarkan urutan paling banyak dialami) adalah beban tugas sekolah yang berat (60%), beban mengurus rumah/keluarga yang berat (18%), kekerasan emosional (dipermalukan, diancam, dimarahi, lainnya) (13%), kekerasan online (melalui media sosial lainnya/internet), ekerasan fisik (dipukul, ditendang, didorong, lainnya), penelantaran, kekerasan seksual, dikucilkan karena memiliki hubungan dengan orang positif/PDP/ODP Covid-19, serta menikah sebelum 19 tahun

Sedangkan menurut Yuyun berbagai data dan fakta menunjukan bahwa anak dan kaum muda menghadapi berbagai kendala dan tantangan dalam menikmati hak-haknya di masa pandemik ini. Situasi ini utamanya dialami oleh perempuan, dan semakin berlapis bagi perempuan penyandang disabilitas. Yuyun Yuningsih dari Bilic Bandung mengungkapkan perempuan penyandang disabilitas masih kesulitan mengakses layanan pengaduan kekerasan.

Sedangkan menurut Suci Apriani, Ketua Kelompok Perlindungan Anak Desa (KPAD) Kab. Lombok Barat, mengungkapkan bahwa anak tidak dilibatkan dalam Satgas Covid-19 di desa. Pemerintah desa berpandangan tidak bisa mengikutsertakan anak dengan alasan anak masih labil dan tidak bisa diberikan pemikiran yang berat untuk memikirkan program ataupun anggaran

Di sisi lain, Abdul Gilang Tawakkal mengungkapkan pengalamannya mendampingi kasus kekerasan terhadap anak di Forum Anak. Menurutnya terdapat upaya-upaya yang perlu ditingkatkan oleh multipihak dalam pencegahan dan pendampingan kasus kekerasan terhadap anak. Multipihak tersebut adalah pemerintah, keluarga, lingkungan sekolah, masyarakat dan anak sebagai agen antiperundungan terhadap diri sendiri maupun orang lain.

Nyimas Aliah, Asdep Perlindungan Hak Perempuan dalam Situasi Darurat dan Kondisi Khusus, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, menanggapi paparan yang disampaikan oleh Yuyun. Ia mengungkapkan bahwa selama masa pandemik, KPPPA sudah mendiskusikan tentang kerentanan-kerentanan yang dihadapi perempuan penyandang disabilitas. Adanya kebijakan pemerintah supaya tetap di rumah, belajar di rumah, bekerja di rumah, berdampak besar terhadap mereka terutama yang juga pencari nafkah. Kondisi ragam disabilitasnya yang membuat bergantung pada orang lain, misalnya tuna netra harus ada yang mendampingi, menuntun, pada saat ini mungkin tidak bebas lagi mencari pendamping.

Ninik Rahayu, Ombudsman RI, menyampaikan bahwa masih ditemukan layanan pengaduan yang tidak sensitif dan responsif terhadap korban kekerasan khususnya perempuan dan anak. Ia juga menambahkan bahwa pentingnya menyiapkan petugas layanan pengaduan kekerasan yang kompeten, memiliki perspektif korban, miliki respons yang baik, serta mampu mengoordinasikan secara cepat dengan lembaga-lembaga pengada layanan.

Diskusi kedua ini menjadi diskusi yang padat dengan penyampaian materi yang komprehensif. Terbatasnya waktu membuat banyak pertanyaan belum sempat terjawab oleh narasumber, Jaringan AKSI akan merangkum dan membahas secara internal untuk melahirkan rekomendasi-rekomendasi. FF []

Leave a Reply

Your email address will not be published.