ZOOM, 84342710647 – Sebanyak 13% dari 434 responden menyatakan kekerasan emosional merupakan hal tidak nyaman yang dialami oleh anak dan kaum muda selama masa pandemik. Dan sebanyak 15% responden menyampaikan bahwa perkawinan anak menjadi hal tidak nyaman yang dilihat/diduga/didengar/diketahui oleh anak dan kaum muda yang dialami oleh anak dan kaum muda lainnya di lingkungan sekitar selama masa pandemik. Data ini muncul dalam Survei Anak dan Kaum Muda yang dilakukan oleh Plan Internasional Indonesia.
Rani Hastari, Gender & Inclusion Specialist, Yayasan Plan International Indonesia menegaskan bahwa data survei ini merupakan data sementara yang masuk per 18 Mei 2020.
“Data ini merupakan bagian kecil dari survei secara keseluruhan yang kami lakukan. Jadi bukanlah survei tentang kekerasan terhadap anak dan kaum muda. PLAN Indonesia sedang melakukan analisis situasi umum terhadap anak dan kaum muda di beberapa sektor, mulai dari pendidikan, perlindungan anak, dsb,” ujar Rani dalam Diskusi Mendengar Suara Anak dan Kaum Muda: Pengalaman Pendampingan Kekerasan Terhadap Anak di Masa Pandemik COVID-19 pada Rabu (20/05/2020)
Berbagai data dan fakta menunjukan bahwa anak dan kaum muda menghadapi berbagai kendala dan tantangan dalam menikmati hak-haknya di masa pandemik ini. Situasi ini utamanya dialami oleh perempuan, dan semakin berlapis bagi perempuan penyandang disabilitas. Yuyun Yuningsih dari Bilic Bandung mengungkapkan perempuan penyandang disabilitas masih kesulitan mengakses layanan pengaduan kekerasan. “Ada kondisi di mana misalnya teman tuli mengalami kendala dalam mengakses layanan pengaduan kekerasan karena tidak memungkinkan baginya untuk menelpon dan melakukan percakapan. Sehingga penting layanan pengaduan yang mudah dan aksesibel,” ujar Yuyun.
Menurut Yuyun, salah satu akar permasalahan tersebut adalah adanya asumsi yang keliru terhadap perempuan penyandang disabilitas. Hal ini membawa dampak pada infrastruktur termasuk akses layanan pengaduan yang tidak responsif dan inklusif.
Asumsi yang keliru rupanya juga dialami oleh kaum muda di Kab. Lombok Barat. Suci Apriani, Ketua Kelompok Perlindungan Anak Desa (KPAD) Kab. Lombok Barat, mengungkapkan bahwa orang muda masih mendapat stigma dari pemerintah lokal terkait kapasitasnya. Sehingga berdampak pada tidak dilibatkannya kaum muda dalam Satgas Covid-19. “Pemerintah desa berpandangan tidak bisa mengikutsertakan anak alasannya anak masih labil dan tidak bisa diberikan pemikiran yang berat untuk memikirkan program ataupun anggaran. Padahal kami ingin bahwa Satgas Covid-19 bisa dilakukan secara ramah anak,” ujar Suci.
Minimnya partisipasi anak berpengaruh terhadap tidak masuknya kebutuhan dan hak anak dalam prioritas bantuan sosial. Padahal anak juga rentan menjadi korban di masa pandemik. “Perlu adanya emergency child protection yang mampu menjamin anak dalam situasi darurat, misalkan pemberian APD, ruang aman selama isolasi, pemberian vitamin, dan memastikan aman dari tindakan kekerasan,” lanjut Suci.
Di sisi lain, kaum muda sesungguhnya mampu memberikan inisiatif dan inovasi dalam upaya membangun kesadaran terhadap berbagai isu khususnya untuk teman sebaya. Abdul Gilang Tawakkal, Wakil Ketua 1 Forum Anak Nasional menyatakan bahwa anak muda mampu berkreasi dan menciptakan karya terbaik untuk anak Indonesia untuk kampanye dan edukasi, salah satunya melalui media sosial. “Jangan sampai karena adanya Covid-19 menghenti langkah kita untuk menyebarkan virus-virus positif dalam rangka memenuhi hak-hak anak,” tutur Gilang.
Dari sisi regulasi, pemerintah telah mengeluarkan sejumlah panduan dan protokol meminimalkan dampak pandemi Covid-19 terhadap kelompok rentan. Namun, regulasi tersebut masih membutuhkan perbaikan untuk memastikan sesuai dengan kebutuhan kelompok rentan. Ninik Rahayu dari Ombudsman RI menyampaikan bahwa masih ditemukan layanan pengaduan yang tidak sensitif dan responsif terhadap korban kekerasan khususnya perempuan dan anak.
“Penting menyiapkan petugas layanan pengaduan kekerasan yang kompeten, memiliki perspektif korban, miliki respons yang baik, serta mampu mengoordinasikan secara cepat dengan lembaga-lembaga pengada layanan,” ujarnya.
Partisipasi anak perempuan, kaum muda, perempuan penyandang disabilitas yang bermakna dalam setiap perumusan kebijakan masih perlu didesakan. Hal ini untuk memastikan hasil setiap keputusan berbasis pada hak, sensitif dan responsif gender, dan inklusif, sehingga dapat mengantisipasi segala bentuk kekerasan berbasis gender.
Diskusi Mendengar Suara Anak dan Kaum Muda: Pengalaman Pendampingan Kekerasan Terhadap Anak di Masa Pandemik COVID-19 merupakan diskusi ke-2 dari diskusi serial Jaringan AKSI yang bertema “Mengupayakan Perlindungan Perempuan dan Anak yang Komprehensif di Masa Pandemik COVID-19. Diskusi serial ini mendapat dukungan dari konsorsium Women’s Voice and Leadership (WE LEAD) yang didanai oleh Global Affairs Canada melalui Rumah KitaB. IA []
Leave a Reply