Potret Kekerasan Berbasis Gender pada Anak dan Kaum Muda di Masa COVID-19

Potret Kekerasan Berbasis Gender pada Anak dan Kaum Muda di Masa COVID-19

ZOOM, 81291314061 – Kekerasan berbasis gender nyata terjadi selama pandemik COVID-19 dalam berbagai bentuk, salah satunya kekerasan psikis pada anak. Hal ini diungkapkan oleh Retno Listyarti, Komisioner KPAI dalam diskusi daring “Kekerasan Berbasis Gender (KBG) pada Anak dan Kaum Muda di Masa Pandemik COVID-19” yang diselenggarakan oleh Jaringan AKSI pada Rabu (13/05/2020).

Retno Listyarti memaparkan sejumlah temuan dari survei KPAI mengenai Pendidikan Jarak Jauh (PJJ). Hasil survei terhadap 1700 responden sebanyak 76,7% responden menyatakan tidak senang menjalankan PJJ. Berbagai kesulitan dihadapi anak akibat penyelenggaraan PJJ yang tidak mempertimbangkan kebutuhan, hak anak, serta bias kelas.

“PJJ memaksa anak untuk menggunakan HP & laptop yang intens, serta tugas-tugas yang banyak. Penggunaan gadget yang intens juga munculkan risiko paparan radiasi yang tinggi.  Anak mengalami kelelahan. Imun anak yang seharusnya dijaga selama masa pandemi jadi malah terabaikan,” ujar Retno.

Uli Pangaribuan dari LBH APIK Jakarta juga menuturkan berbagai kendala yang dihadapi oleh perempuan korban kekerasan selama masa pandemi. Salah satu yang sangat dikeluhkan yaitu mekanisme penanganan korban yang menyulitkan, seperti syarat tes Covid-19.

“Kami perlu rapid test bagi korban kekerasan yang cepat dan gratis, Sehingga akses korban ke Rumah Aman menjadi cepat, karena menyangkut perlindungan dan keselamatan korban,” ujar Uli Pangaribuan.

LBH APIK juga mencatat sebanyak 172 pengaduan selama WFH (16 Februari-12 April 2020) yang di antaranya ada 7 kasus kekerasan terhadap anak dan 72 kasus kekerasan terhadap perempuan muda (berusia 19 s.d. 30 tahun). Jenis kasus yang dilaporkan meliputi kekerasan berbasis gender online, kekerasan dalam rumah tangga, kekerasan seksual, dan kekerasan dalam pacaran.

Kerentanan lain yang dialami anak dan kaum muda di masa pembatasan sosial dan fisik ini adalah kebosanan, kecemasan, dan stres. Hal ini membawa risiko pada meningkatnya akses terhadap konten-konten negatif di internet dan media sosial. Hal ini diungkapkan oleh Renya Rosari dari Youth Coalition for Girls (YCG) Kota Kupang.

Menurut Renya hal tersebut juga bisa berdampak terhadap rentannya anak dan kaum muda pada kekerasan berbasis gender di dunia online. Diperluka support system yang kuat utamanya dari keluarga agar anak dan kaum muda terhindar dari berbagai bentuk kekerasan.

“Perlu bangun support system yang kuat di rumah agar mereka mencintai diri sendiri. Sehingga terbangun keberanian untuk melawan dan melaporkan kekerasan berbasis gender,” tutur Renya.

Pelibatan multipihak untuk mengantisipasi dan mengatasi kekerasan berbasis gender sangat diperlukan di masa pandemi ini. Di samping pembuatan kebijakan dan mekanisme pencegahan dan penanganan, yang paling penting adalah memastikan setiap kebijakan tersebut implementatif dan mudah diakses oleh korban.

Partisipasi perempuan dan anak perempuan sangat krusial dalam memastikan hak-hak mereka terpenuhi dan terlindungi selama pandemi ini. Perempuan dan anak adalah subjek yang sebetulnya mampu menyuaran kebutuhannya jika ruang partisipasi dibuka lebar.

Diskusi Kekerasan Berbasis Gender Pada Anak dan Kaum Muda di Masa Pandemik COVID-19 merupakan diskusi ke-1 dari diskusi serial Jaringan AKSI yang bertema “Mengupayakan Perlindungan Perempuan dan Anak yang Komprehensif di Masa Pandemik COVID-19. Diskusi serial ini mendapat dukungan dari konsorsium Women’s Voice and Leadership (WE LEAD) yang didanai oleh Global Affairs Canada melalui Rumah KitaB.(ik)

Leave a Reply

Your email address will not be published.