Seminar dan Lokakarya: Situasi Analisis Sosial Politik Terkait Isu Perkawinan Anak

Seminar dan Lokakarya: Situasi Analisis Sosial Politik Terkait Isu Perkawinan Anak

SIARAN PERS
Pemerintah Daerah Harus Pastikan Sosialisasi dan Implementasi Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
Jakarta, 12 Desember – Sebagai bagian dari gerakan masyarakat sipil dalam upaya pencegahan dan penghapusan perkawinan anak, Jaringan AKSI memandang sosialisasi dan implementasi perlu dimaksimalkan oleh berbagai pihak dan lintas sektor. Kami menekankan pentingnya implementasi yang menyeluruh mulai dari sosialisasi hingga pemantauan dan evaluasi terhadap penerapan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan di berbagai tingkatan.

Evie Permata Sari, Presidium Jaringan AKSI mengatakan bahwa saat ini perlu peran serta semua pihak untuk melakukan sosialisasi terkait kenaikan batas minimal usia perkawinan menjadi 19 tahun baik bagi laki-laki maupun perempuan sebagai langkah awal untuk menekan angka perkawinan anak.


“Sekarang untuk melangsungkan perkawinan seseorang harus berusia minimal 19 tahun dan telah ada payung hukumnya. Langkah selanjutnya yang harus dilakukan yaitu kolaborasi multipihak untuk sosialisasi kebijakan tersebut secara menyeluruh. Selain itu, diperlukan juga peran serta pemerintah daerah untuk mengimplementasikan kebijakan tersebut dengan menurunkannya menjadi kebijakan lokal sehingga praktik perkawinan anak dapat dicegah dan ditangani,” ujar Evie Permata Sari pada acara Seminar dan Lokakarya (Semiloka) Analisis Situasi Sosial Politik Terkait Isu Perkawinan Anak yang diselenggarkan oleh Jaringan AKSI di Jakarta, Kamis (12/12/2019).

Data SUSENAS (Survei Ekonomi Nasional, 2016) menunjukkan bahwa 1 dari 9 anak perempuan menikah sebelum usia 18. Angka absolut anak perempuan yang terdampak perkawinan anak menempatkan Indonesia pada 10 tertinggi di dunia. Berbagai kajian dan penelitian menunjukkan bahwa perkawinan anak berkontribusi pada rendahnya Indeks Pembangunan Manusia (IPM) dan Indeks Pembangunan Berbasis Gender (IPG). Hal ini karena perkawinan anak berdampak pada tingginya angka kematian ibu dan bayi, stunting, kekerasan dalam rumah tangga, perceraian, putus sekolah, pekerja anak, serta kemiskinan.

Kelompok anak utamanya anak perempuan menjadi yang paling terdampak ketika terjadinya perkawinan anak. Oleh karena itu, seharusnya kelompok tersebut harus turut dilibatkan dalam setiap pembahasan dan penyusunan kebijakan, program, maupun anggaran terkait percegahan perkawinan anak dalam berbagai tingkatan. Dalam konteks kebijakan lokal, keterlibatan orang muda menjadi strategis dan substansial karena mereka lebih mengetahui kebutuhanya serta dapat memastikan tidak ada haknya yang dilanggar dan diabaikan.

Aditya Septiansyah, Program Manager Aliansi Remaja Independen mengatakan bahwa ruang partisipasi orang muda terutama perempuan dalam perumusan kebijakan pencegahan perkawinan anak  di tingkat lokal perlu dibuka seluas-luasnya untuk memastikan hak-haknya terpenuhi serta sejalan dengan prinsip-prinsip penegakan hak anak.

“Kami mengidentifikasi munculnya kerangka kebijakan di tingkat lokal terkait pencegahan perkawinan anak, tetapi karena prosesnya tidak melalui pelibatan lintas sektor, terutama anak dan remaja, akhirnya berimplikasi pada munculnya konten kebijakan yang merugikan anak dan remaja. Maka Jaringan AKSI juga berkomitmen untuk mengadvokasikan pentingnya pelibatan anak dan remaja untuk meningkatkan sensitivitas pemangku kebijakan  terkait hak anak terutama anak perempuan,” ujar Aditya yang juga Presidium Jaringan AKSI untuk Bidang Keterlibatan Remaja.

Seminar Analisis Situasi Sosial Politik Terkait Isu Perkawinan Anak yang dilakukan di Jakarta oleh Jaringan AKSI bekerja sama dengan Unicef menekankan pada urgensi implementasi Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan di berbagai tingkatan. Salah satu bentuk implementasi yaitu dengan mendorong pemerintah daerah untuk membuat kebijakan, program, dan anggaran terkait pencegahan perkawinan anak dengan memastikan hak anak dan orang muda menjadi arus utama dan terintegrasi di dalamnya.

Untuk informasi lebih lanjut atau wawancara silahkan hubungi:
Evie Permata Sari (Presidium Jaringan AKSI)
viepermatasari@gmail.com
08129676180

Leave a Reply

Your email address will not be published.