Pada sebagian kasus pernikahan anak, negara berperan dalam melegalkannya.
tirto.id – Pernikahan dua remaja berusia 14 tahun dan 15 tahun di Bantaeng, Sulawesi Selatan membuat heboh. Mulai dari pengamat, pejabat, hingga menteri pendidikan dan kebudayaan serta menteri pemberdayaan perempuan dan anak-anak bersuara. Mereka menyesalkan rencana pernikahan dua remaja yang seharusnya masih duduk di bangku SMP tersebut.
Sayangnya, pernikahan anak di Bantaeng tersebut bukan satu-satunya. Masih banyak pernikahan anak yang terjadi di Indonesia, dengan beragam faktor penyebabnya. Jika pernikahan remaja di Bantaeng terjadi karena keinginan sendiri, tidak demikian yang terjadi pada Rasminah. Ia adalah anak yang terpaksa menikah dini karena desakan orang tua.
“Perasaan saya hancur. Hancurnya ya karena saya masih ingin sekolah. Masih ingin main,”
Kalimat itu diucapkan Rasminah. Ia menikah di usia 13 tahun setelah lulus SD demi membantu ekonomi keluarga. Ayahnya stroke dan tak bisa berjalan lagi. Kala itu calon suaminya berusia 25 tahun. Selama seminggu setelah ijab kabul, Rasminah kerap kabur untuk tidur di rumah orangtuanya. Ia takut lantaran tak siap berumah tangga. Umur 14 tahun, Rasminah melahirkan anak pertamanya, Karyamin.
Bank Dunia dan International Center for Research on Women menyebutkan bahwa pernikahan anak akan menyebabkan kerugian bagi negara berkembang hingga miliaran dolar pada 2030. Indonesia adalah salah satunya. Dua kasus yang pernah ramai diberitakan media adalah Syekh Puji (43 tahun) dan Lutfiana Ulfa (12 tahun) dan yang terbaru adalah pernikahan pasangan anak SMP di Sulawesi Selatan yang mendapat persetujuan Pengadilan Agama Bantaeng.
Gambaran pernikahan yang kerap lekat dengan cinta, kebahagiaan, dan rasa aman, belum tentu diamini oleh para mempelai di bawah umur yang masih berstatus anak –seseorang yang belum berusia 18 tahun, tercantum dalam UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang perlindungan anak. Sayangnya, batas usia tersebut tidak dijadikan dasar dalam penetapan standar usia menikah di Indonesia.
UU Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan menyebutkan perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 tahun dan pihak perempuan sudah mencapai umur 16 tahun, dan memenuhi syarat-syarat perkawinan yang salah satunya adalah, untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 tahun harus mendapat izin dari kedua orang tua.
Undang-undang ini jelas tidak melindungi anak perempuan yang merupakan pihak paling rentan dalam pernikahan anak. Mereka berisiko untuk dimanipulasi, dihamili, hingga tak punya masa depan lagi. Pada sebagian kasus, negara berperan karena melegalkannya.
Merujuk data susenas tahun 2013 dan 2015, bila dilihat berdasarkan usia, persentase perempuan pernah kawin usia 20-24 tahun yang menikah sebelum usia 16 tahun lebih sedikit. Namun, selepas 16 tahun hingga sebelum 18 tahun, persentasenya membesar. Meski data pernikahan anak memperlihatkan tren menurun, tetapi perkawinan yang dilakukan saat berusia 16 dan 17 tahun masih jamak dilakukan.
Persentase tertinggi perempuan pernah kawin usia 20-24 tahun ada pada kelompok perempuan yang menikah di usia kurang dari 18 tahun, yaitu sebesar 24,17 persen pada 2013 dan turun menjadi 22,82 persen pada 2015. Sementara pada perempuan yang menikah sebelum 16 tahun, persentasenya sebesar 4,78 persen pada 2013 dan turun menjadi 3,54 persen pada 2015. Persentase penurunan prevalensi tertinggi ada pada kelompok perkawinan sangat dini (sebelum usia 15 tahun) yaitu 40,1 persen.
Kasus ini terjadi di seluruh provinsi di Indonesia, pada 2015, tersebar mulai dari 11,73 persen di Kepulauan Riau hingga 34,22 persen di Sulawesi Barat –yang merupakan provinsi dengan prevalensi tertinggi. Selain Sulawesi Barat, prevalensi tertinggi pernikahan anak ada di Kalimantan, yaitu Kalimantan Selatan (33,68 persen), Kalimantan Tengah (33,56 persen), dan Kalimantan Barat (32,21 persen). Prevalensi di provinsi-provinsi tersebut lebih tinggi dibandingkan dengan rata-rata nasional sebesar 22,82 persen.
Tak Ada Hal Baik Pada Pernikahan Anak
Pernikahan anak merenggut hak atas pendidikan dan pemenuhan potensi anak. Semakin rendah pendidikan yang dienyam, maka makin rentan pula kemungkinan anak untuk menikah dini –terutama anak perempuan yang drop-out dari sekolah.
Pada 2015, 80 persen perempuan yang menikah sebelum 18 tahun tidak melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi –hanya menyelesaikan pendidikan dasar. Mayoritas merupakan tamatan SMP sebesar 41,18 persen dan sekolah dasar sebesar 40,06 persen. Berbeda dengan perempuan yang menikah selepas 18 tahun, penundaan usia pernikahan akan meningkatkan capaian pendidikan mereka. Sebagian besar (45,38 persen) menamatkan sekolah hingga tingkat menengah ke atas.
Namun, Susenas mencatat ada peningkatan kecil. Data memperlihatkan turunnya persentase perempuan pernah kawin usia 20-24 tahun yang menikah sebelum 18 tahun yang tidak pernah sekolah/tidak lulus SD dari 11,97 persen di 2013 menjadi 9,87 persen di 2015.
Di sisi lain, ada kenaikan sebesar 2,21 persen pada perempuan pernah kawin usia 20-24 tahun yang menikah sebelum 18 tahun dan menyelesaikan SMA. Meski demikian, perempuan pernah kawin usia 20-24 tahun yang menikah setelah usia 18 tahun bersekolah lebih lama dua tahun dibandingkan dengan perempuan yang menikah sebelum usia 18 tahun dari kelompok umur yang sama. Pendidikan yang rendah ikut memperkecil peluang dalam meningkatkan kesejahteraan yang diraih melalui bekerja.
Ini disebabkan karena rendahnya kesempatan anak untuk berpartisipasi dalam pasar tenaga kerja formal. Dari survei, terlihat bahwa ada perbedaan pola sebaran antara pekerja perempuan pernah kawin usia 20-24 tahun tahun yang menikah sebelum usia 18 tahun dengan yang menikah pada usia 18 tahun ke atas.
Mayoritas perempuan yang menikah lebih muda bekerja pada lapangan usaha yang bergerak di sektor pertanian (41,50 persen). Sedangkan kelompok perempuan yang menikah pada usia 18 tahun ke atas sebagian besar bekerja pada lapangan usaha yang bergerak di sektor jasa-jasa –sebesar 51,95 persen.
Hal ini menandakan adanya korelasi tingkat pendidikan dengan lapangan usaha. Kausanya, untuk dapat memasuki pasar kerja pada sektor pertanian tidak memerlukan tingkat pendidikan yang tinggi, sementara di sektor jasa lebih membutuhkan kualifikasi pendidikan yang lebih tinggi. Dari segi kesehatan, secara umum, peluang perempuan yang menikah sebelum 18 tahun dalam proses persalinan yang dibantu tenaga kesehatan lebih kecil, yaitu sebesar 84,52 persen.
Selain itu, Inisiasi Menyusui Dini (IMD) yang dilakukan perempuan pernah kawin usia 20-24 tahun sebelum 18 tahun lebih rendah, yaitu sebesar 38,61 persen. Gap ini muncul salah satunya karena kemungkinan perempuan menikah selepas 18 tahun mendapatkan informasi mengenai program IMD lebih besar. Hal ini juga berkaitan dengan kelahiran yang dibantu oleh tenaga kesehatan memungkinkan untuk melakukan IMD dalam satu jam setelah lahir.
Di samping itu, ibu yang berusia kurang dari 20 tahun memiliki risiko kelahiran yang lebih tinggi. Pada pernikahan di usia dini, risiko kelahiran berhubungan erat dengan buruknya kesehatan reproduksi dan kurangnya kesadaran anak perempuan terhadap dampak persalinan dini. Tak heran bila tingginya risiko kematian bayi disebabkan karena komplikasi saat persalinan dan tubuh yang belum sepenuhnya matang untuk melahirkan.
Bayi yang dikandung para ibu belia ini juga berpeluang menderita stunting –kurang gizi kronis yang disebabkan rendahnya asupan gizi sejak dalam kandungan dan tanda-tandanya baru tampak saat anak berusia dua tahun. Diperkirakan sekitar 9,5 juta anak Indonesia mengalami stunting yang mengakibatkan otak seorang anak kurang berkembang, dan ini membikin satu dari tiga anak Indonesia akan kehilangan peluang mengenyam pendidikan, mengurangi 10 persen dari total pendapatan seumur hidup, dan mengurangi pendapatan pekerja dewasa hingga 20 persen.
Tak cuma itu, stunting membebani pemerintah pusat hingga Rp49.767,23 miliar dalam program penanganan stunting 2018. Di daerah, alokasi anggaran untuk mendukung proyek prioritas nasional penurunan stunting yang digelontorkan melalui dana transfer/dana daerah adalah sebesar Rp92.571,48 miliar.
Pernikahan anak tak hanya berpengaruh pada pendidikan tetapi juga kesehatan. Kesadaran untuk menghindari pernikahan anak harus terus ditingkatkan. Pada tingkat keluarga, peran terbesar ada pada orangtua. Merujuk UU Nomor 1 Tahun 1974, jelas tertulis bahwa orangtua adalah pengambil keputusan dalam pernikahan anak, khususnya yang dilakukan sebelum usia 21 tahun. Orangtua menjadi kunci dalam upaya penurunan prevalensi pernikahan anak, oleh sebab itu edukasi terkait hal ini juga ditujukan bagi orangtua. Hal penting lainnya adalah meningkatkan batas usia minimal menikah dalam undang-undang sebagai upaya mencegah pernikahan anak.
Mengakhiri pernikahan anak akan memiliki dampak positif yang besar terhadap pencapaian pendidikan anak perempuan dan meningkatkan penghasilan yang diharapkan dari perempuan dan kesejahteraan rumah tangga. Bagi pemerintah, menurut laporan Bank Dunia, mengakhiri pernikahan anak juga akan mengurangi tingkat kematian balita dan menunda perkembangan fisik karena kurangnya nutrisi yang tepat (stunting).
Secara global, kematian balita yang rendah dan angka stunting yang ikut turun akan menghemat anggaran negara hingga lebih $90 miliar setiap tahun pada 2030. Dengan mencegah pernikahan dini, pemerintah juga akan menghemat biaya penyediaan pendidikan dasar. Ini karena pertumbuhan penduduk yang lebih rendah sehingga pemerintah bisa menghemat anggaran pendidikan sebanyak 5 persen pada 2030.
Sumber: https://tirto.id/pernikahan-anak-merenggut-hak-anak-dan-merugikan-negara-cJiQ
Reporter: Scholastica Gerintya
Penulis: Scholastica Gerintya
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti
Leave a Reply