[av_textblock size=” font_color=” color=” admin_preview_bg=”]
Oleh: Fatimatuzzahro, S.Fil.I *)
HANYA satu kata untuk kegiatan KUPI (Kongres Ulama Perempuan Indonesia), KEREN! Meski cuma satu hari saya mengikuti, dari 3 hari rangkaian kegiatan dari Selasa-Rabu 25 s/d 27 April 2007 bertempat di PP. Kebon Jambu Babakan Ciwaringin Cirebon, namun saya bersyukur mendapatkan kesempatan menjadi pemantau (di name tag berubah menjadi peserta). Ibarat pepatah, seperti minum air laut yang semakin banyak justru semakin haus. Artinya semakin saya banyak tahu, justru aku semakin minder, bodoh dan tak tahu apa-apa. KUPI seumpama lautan ilmu pengetahuan yang tak habis dipelajari. Kegiatan pertama yang aku ikuti seminar nasional, yang mengupas tuntas sejarah ulama perempuan menangkal radikalisme atas nama agama. Catatan menarik yang disampaikan Ibu Nur Rofiah, Dosen PTIQ Jakarta, salah satu pemateri dalam seminar tersebut. “Menguatkan perempuan atas dasar ketaqwaan kepada Allah Swt. Perilaku memanusiakan perempuan bagian dari misi kenabian (amanah rasul)/profetik, sedangkan ulama adalah pewaris para Nabi”. Catatan lainnya “Semua menjadi mungkin bagi perempuan untuk memperjuangkan keadilan hakiki ketika Indonesia menjadi Negara Bangsa, karena jika beralih menjadi Negara Islam akan kembali sulit dilakukan. Maka dari itu NKRI Harga mati mutlak tak bisa di tawar lagi. Mengapa demikian, sebab tafsir yang dilakukan seringkali adalah antara (maksud dan artinya), bukan sasaran akhir apa yang diinginkan oleh dalil naqli, seperti pemahaman tentang ayat aurat, poligami, hukum waris dan sebagainya”.
Kegiatan kedua, diskusi paralel yang dibagi dalam 9 kelas diskusi kelompok. Awalnya bingung, karena semua tema menarik tetapi peserta dan pemantau hanya boleh memilih satu. Akhirnya saya memilih pernikahan anak dengan alasan dalam waktu dekat PC LKKNU Indramayu akan bersinergi dengan KPI mengawal program Tolak Pernikahan Anak. Dengan dipandu Ibu Lies Marcoes diskusi berjalan hangat dan menarik. Ternyata persoalan pernikahan anak begitu kompleks dan banyak variable penyebab serta akibatnya. Belum lagi berbicara metodologi penelitian teks keagamaan, analisa hukum dan ambiguitas hukum positif yang dianut masyarakat Indonesia, antara hukum negara serta hukum agama, kitab fikih bab pernikahan, pembahasan dalil al-Qur`an dan Hadits, asbab al-nuzul dan asbab al-wurud, keshahihan sebuah hadits hingga kualitas sanad/periwayatan hadits. Kami berbagi pengalaman dengan para peneliti dari Australia dan Malaysia, para Ibu-Ibu Hebat yang mengadvokasi pernikahan anak dari Aceh, Banjarmasin Kalimantan, Makasar Sulawesi, Lumajang Jawa Timur dan daerah lainnya di Indonesia. Berharap pada agenda KUPI selanjutya saya masih bisa ikut.
Sebagai orang awam yang baru mempelajari tentang tema pernikahan anak, ketika pertama kali masuk ruang diskusi dan mendengarkan pemaparan awal materi, agak terkejut juga wah berat ternyata memahami persoalan pernikahan anak, harus diawali dengan metodologi penelitian yang akurat, cara pandang/frame berpikir yang tepat bagaimana menyelesaikan permasalahan. Karena masih belajar, saya terus melihat dan mendengar tanya jawab antara pemateri, moderator dan audiens. Sesekali saya terlibat diskusi kecil dengan teman-teman di kanan kiri saya, dari Makasar dan Banjarmasin. Berkenalan, hingga menanggapi lontaran moderator dan penanya. Pantas saja sampai hari ini persoalan pernikahan anak seperti gunung es, hanya terlihat puncaknya saja tanpa tahu ada banyak masalah lain di bawahnya. Seperti kemiskinan, rendahnya pendidikan, kurangnya lapangan pekerjaan, pornografi, pergaulan bebas, bahkan hingga ke masalah keterbatasan tanah.
Saya pun jadi teringat di daerah saya Indramayu, yang sampai hari ini terkenal dengan sebutan RCTI (Rangda Cilik Turunan Indramayu) atau “Janda Kecil Keturunan Indramayu”. Fakta ini bahkan terjadi di depan mata saya, ketika itu satu tahun silam terjadi peristiwa siswa kelas 2 SMP swasta di Indramayu, menikah karena kehamilan tidak diinginkan (KTD). Ironisnya si anak bahkan tinggal di pesantren. Sampai usia kandungan 4 bulan tidak ada yang mengetahui jika ia hamil. Karena kepolosan dan ketidaktahuan sang anak, ia tidak tahu bahwa dirinya telah berbadan dua. Orangtuanya bercerai, ibunya berangkat ke luar negeri menjadi buruh migran. Versi lain, menurut kabar yang beredar Ibunya sudah menikah lagi di negeri jiran. Dan ayahnya pun sama menikah lagi, ia bekerja serabutan, dengan sikap ayah yang temperamental seringkali berbuat kasar terhadap sang anak. Maka untuk keamanan sang anak, si Ayah menitipkan anak ke pesantren. Tidak tahu ternyata ketika di pesantren sering keluar tanpa izin, sering tidak masuk sekolah tanpa izin. Diam-diam menemui lelaki di luar sana yang sudah bekerja, mau berhubungan seksual dengan imbalan hanya Rp. 20.000. Ketika di tanya uangnya untuk apa? Dengan polos si anak menjawab untuk membeli pulsa.
Yang lebih dramatis ketika si anak diketahui telah hamil. Bapaknya marah dan menyiksa si anak dengan kekerasan fisik. Memaksanya menikah dan keluar dari sekolah serta pesantren. Pernikahan pun dilangsungkan untuk menutupi aib keluarga. Setelah itu, si anak kembali melanjutkan hidupnya tapi tak bisa meneruskan pendidikan. Ada yang mengatakan ia telah bercerai, dan bayi yang dilahirkan diasuh oleh korban sendiri. Kasus ini menambah daftar panjang sebutan RCTI, meski peristiwa ini terjadi tanpa ekspose media karena pertama, menjaga nama lembaga pendidikan dan pesantren. Kedua, yang aku lihat tidak ada yang mau turun menyelesaikan, apa yang terbaik bagi si anak. Semua di lihat dari sudut pandang orang dewasa dan lelaki, tanpa mendengarkan suara hati si anak.
Menurut saya kasus pernikahan anak menjadi fenomena gunung es lainnya, karena hanya satu atau dua kasus yang muncul di permukaan atau diberitakan media. Selebihnya, lebih banyak yang tersembunyi, samar dan sengaja dihilangkan atau dilupakan (diusir atau dikucilkan). PR lagi, bagaimana mengangkat sebuah kasus pernikahan anak tanpa membuat nama baik keluarga tercemar, atau tanpa si korban menghadapi tekanan mental. Karena kemampuan saya masih terbatas saat itu, sehingga tidak banyak yang bisa dilakukan. Sehingga berharap dengan keikutsertaan di KUPI menambah pengalaman, pengetahuan serta wawasan apa dan bagaimana yang harus dilakukan, serta jejaring siapa yang harus kita temui.
Mungkin kasus yang pernah saya temui, tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan pengalaman Ibu-Ibu Hebat lainnya, yang bahkan sampai rela diusir dari tempat dimana dia tinggal. Tetapi dengan kepingan cerita, dan ragam kasus pernikahan anak di seluruh Indonesia menjadi PR KUPI agar ke depan ada draft legal atau fatwa yang bisa menjadi pegangan. Kemudian ada monitoring dan evaluasi berkala sejauh mana pendampingan kasus ini, karena seringkali menguap begitu saja tanpa tindak lanjut berarti bagi si korban, bagaimana ia bisa diberdayakan lagi secara ekonomi, sosial dan politik.
Terimakasih Ibu Lies Marcoes sudah membuat diskusi pernikahan anak menjadi menarik, dan memancing keingintahuan kami, namun tetap bersikap kritis terhadap materi yang disampaikan. Terimakasih kepada peneliti isu-isu perempuan di Indonesia dari Australia Prof Kathryn Robinson, selalu ada harapan dan tantangan bagi para pengkaji isu perempuan, karena beliau saja jauh-jauh dari Australia berkenan hadir dan memberikan motivasi, berbagi pengalamannya saat melakukan penelitian pernikahan anak di Indonesia. Terimakasih juga kepada para ulama pesantren pengkaji isu pernikahan anak, Kiyai Mukti Ali, Gus Jamaludin Muhammad, Roland Gunawan dan Ahmad Hilmi, sudah menjelaskan konsep pernikahan anak menurut fikih yang berat jadi mudah dipahami. Tidak ketinggalan Peneliti Insist dan Rumah KitaB Nurhady Sirimorok yang sudah menerangkan metodologi penelitian yang rumit dan njlimet menjadi mudah dimengerti. Bonus luar biasa dari KUPI, saya bertemu para senior, ulama dan kiyai yang concernterhadap isu perempuan, dan perempuan-perempuan hebat di bidangnya masing-masing.
Terimakasih KUPI sudah mempertemukan kami semua, memberi pengetahuan, pencerahan dan menjalin silaturahim dengan para penggerak perempuan lainnya. Bagi saya, KUPI adalah harapan baru perempuan Indonesia. Membahas isu perempuan yang kontekstual, merumuskan fatwa yang berpihak pada perempuan, serta mendorong kebijakan publik tentang hak perempuan yang berkeadilan. Ia yang terpinggirkan dan termarginalkan haknya, ia yang diperlakukan diskriminatif, kelak akan menemukan ruangnya kembali bersama KUPI.[]
*) Ketua PC. LKKNU Indramayu dan Pemantau KUPI
[/av_textblock]
Leave a Reply