Zoom, Jaringan AKSI kembali menyelenggarakan diskusi serial yang ketiga kalinya dengan tema “Mencegah, Mengatasi, dan Melawan Praktik Perkawinan Anak di Masa Pandemi Covid-19”. Diskusi yang dilakukan secara daring ini dihadiri oleh 90 peserta dari 165 pendaftar. Acara yang dimoderatori oleh Sonya Hellen Sinombor, Jurnalis KOMPAS, ini merupakan acara ke-3 dari 4 diskusi serial.
Diskusi yang dilaksanakan setiap hari Rabu ini kembali digelar pada tanggal 10 Juni 2020 dan berlangsung selama 2 jam. Diskusi ketiga ini menghadirkan Ghalbi Dwiki Pangdugi, perwakilan dari Forum Anak Desa (FAD) serta Ferny Prayitno, perwakilan dari Youth Coalition for Girls (YCG). Selain narasumber juga menghadirkan penanggap dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Rohika Kurniadi Sari.
Sebelum diskusi dimulai, Evie Permata Sari, Presidium Jaringan AKSI membuka diskusi dengan memaparkan siapa itu Jaringan AKSI dan apa visi-mis nya. Selanjutnya dibuka oleh moderator dan dilanjutkan dengan paparan-paparan dari narasumber.
Ferny Prayitno, Youth Coalition for Girls (YCG), memaparkan tentang YCG dan fokus isu yang menjadi prioritas YCG. Salah satu fokus isu tersebut adalah perkawinan anak. Upaya yang dilakukan YCG untuk mencegah perkawinan anak yaitu dengan mengkampanyekan #IndonesiaTanpaPerkawinanAnak. Alasan membuat Hashtag #IndonesiaTanpaPerkawinanAnak yaitu: untuk membuat kontranarasi untuk gerakan yang akan berdampak pada perkawinan anak seperti gerakan Indonesia Tanpa Pacaran. Kata #IndonesiaTanpaPerkawinanAnak mudah diingat oleh publik. Serta hashtag tersebut juga bertujuan sebagai alat untuk menyuarakan pencegahan perkawinan anak dan mengenalkan berbagai kompleksitas permasalahannya ke publik, dengan harapan publik aware terhadap perkawinan anak
Meskipun pandemik masih melanda, perkawinan anak masih tetap terjadi. Ghalbi Dwiki Pangdudi, Forum Anak Desa, menyampaikan faktor-faktor yang mempengaruhi perkawinan anak di masa pandemik. Faktor tersebut diantaranya adalah ekonomi, keadaan ekonomi yang menurun, orang tua mencari solusi dengan menikahkan anaknya sehingga tidak lagi menjadi tanggung jawab orang tuanya dan beralih menjadi tanggung jawab suaminya. Faktor kedua yaitu sosial dan lingkungan, banyak orang tua menikahkan anaknya karena di lingkungannya marak terjadi kehamilan tidak diinginkan (KTD), sehingga orang tua memilih solusi menikahkan anaknya karena takut terjadinya KTD. Dan ketiga adalah edukasi, para remaja belum mendapatkan wawasan atau edukasi yang cukup dari berbagai pihak terkait hak kesehatan seksual dan reproduksi.
Rohika Kurniadi Sari, Asdep Pengasuhan dan Lingkungan KPPPA, menyampaikan bahwa pemerintah butuh dibantu karena target RPJMN sangat berat, yaitu 2024 harus bisa menurunkan sampai 8,24%. Artinya, pemerintah tidak bisa bekerja sendiri, sinergi dari semua pihak, termasuk sesi ini sangat membantu terkait apa yang harus dilakukan. Banyak sekali gap yang menjadi salah satu pemikiran dan pertimbangan ketika akan memasukan di dalam kebijakan pemerintah, salah satunya adalah mengingatkan bahwa perkawinan adalah membangun peradaban bangsa. Jadi tidak mungkin diletakan pada usia anak, karena anak masih harus diasuh dan dibesarkan oleh orang tua, yang juga bertanggung jawab untuk pemenuhan hak dan perlindungannya, termasuk tidak mendapat praktik perkawinan anak
Diskusi ini berlangung sangat menarik, terdapat pertanyaan dari pihak yang merasa kontra terhadap kampanye #Indonesiatanpaperkawinananak. Namun narasumber menjawab dengan data dan fakta terhadap perkawinan anak. Diskusi ditutup oleh moderator dan presidium Jaringan AKSI bersama sekretariat mendiskusikan diskusi lanjutan sebagai seri akhir dari diskusi serial Jaringan AKSI. FF []
Leave a Reply