Pada Rabu, 30 Oktober 2019, bertempat di kantor UNICEF Indonesia, Jaringan AKSI yang dikoordinasi oleh Rumah KitaB menyelenggarakan pre-research workshop untuk studi mendalam peraturan desa pencegahan perkawinan anak. Workshop ini dihadiri oleh UNICEF, anggota Jaringan AKSI, seperti Rumah KitaB, Sapa Indonesia, Aliansi Remaja Independen, Puskagenseks Universitas Indonesia, Puskapa, Yayasan Plan International Indonesia, Kapal Perempuan, Wahana Visi Indonesia, dan lainnya. Workshop ini dibuka dan dimoderatori oleh Lies Marcoes, Direktur Rumah KitaB, dan Emilie Minnick, Child Protection Specialist UNICEF Indonesia.
Adapun studi mendalam ini akan dilakukan berdasarkan analisis situasi di mana saat ini telah terjadi perubahan kebijakan di tingkat nasional tentang usia minimal menikah bagi perempuan atas izin orangtua (dari 16 menjadi 19 tahun). Di saat yang bersamaan, pemerintah daerah, dari tingkat provinsi hingga desa, juga berupaya untuk mengeluarkan regulasi terkait pencegahan perkawinan anak. Studi ini penting untuk melihat bagaimana regulasi lokal tersebut diimplementasikan, untuk memetakan praktik baik yang dapat diduplikasi di wilayah lain.
Workshop ini dibuka dengan presentasi desk review tentang peraturan daerah pencegahan perkawinan anak yang dilakukan oleh Fadilla Putri, yang juga merupakan perwakilan Jaringan AKSI. Dalam presentasinya, Dilla menyampaikan bahwa desk review ini mengkaji 29 peraturan daerah, mulai dari tingkat provinsi hingga desa untuk melihat praktik baik dan aspek lainnya yang perlu diinvestigasi lebih jauh.
Secara keseluruhan, peraturan daerah yang ditetapkan telah menggunakan pendekatan hak anak, namun masih kurang perspektif anak perempuan. Padahal dalam praktik ini, anak perempuan adalah pihak yang paling rentan untuk dikawinkan dan mengalami dampaknya. Studi ini juga menemukan bahwa sebagian peraturan daerah memberikan sanksi yang beragam, mulai dari sanksi sosial, sanksi denda, hingga sanksi dilaporkan pada pihak berwajib. Studi ini juga mencatat batas usia minimal menikah yang ditetapkan berbeda-beda; ada yang 18 tahun bagi laki-laki dan perempuan, ada yang 18 tahun bagi perempuan dan 19 bagi laki-laki, bahkan 2 desa masih menetapkan usia minimal menikah perempuan pada angka 16 tahun.
Presentasi selanjutnya disampaikan oleh Theresia Dyah, dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia, yang akan melaksanakan penelitian lapangan bersama Ibu Lies. Dalam presentasinya, Dyah menyampaikan beberapa pertanyaan penelitian inti, seperti bagaimana para aktor dan aktivis mengkritisi peraturan daerah yang sudah ada, bagaimana dampak peraturan tersebut terhadap keluarga, anak perempuan, dan anak laki-laki. Dyah juga menjelaskan bahwa studi ini bersifat kualitatif, menggunakan pendekatan sosio-legal dan semi-etnografi. Wilayah-wilayah penelitian adalah Desa Patidi (Mamuju, Sulawesi Barat), Desa Mallari (Bone, Sulawesi Selatan), Desa Loloan (Lombok Utara, NTB), salah satu desa di Rembang, Jawa Tengah, dan Kecamatan Lemahwungkuk, Cirebon. Wilayah ini dipilih berdasarkan rekomendasi desk review yang dilakukan oleh Dilla.
Setelah presentasi berakhir, sesi tanya jawa berlangsung. Banyak masukan yang diberikan oleh para peserta. Misalnya, dalam protokol penelitian, jangan hanya mengedepankan aspek do no harm bagi para informan, tetapi juga harus memikirkan aspek do no harm bagi para penelitinya. Masukan lainnya lebih terkait isu, yaitu peneliti jangan hanya puas jika mendapatkan jawaban seseorang menikah saat masih anak atas alasan suka sama suka. Perlu ada penggalian lebih dalam lagi, karena bisa saja mereka ingin menikah, tapi tidak tahu konsekuensi yang dihadapinya. Lebih dalam lagi, peneliti nantinya harus mampu menggali apakah peraturan tersebut dikembangkan dengan metode partisipatif, atau hanya dikembangkan oleh kelompok elit saja? Dan tentu saja partisipasi tersebut juga harus melibatkan remaja dan anak-anak.
Seluruh masukan-masukan tersebut akan menjadi catatan penting dalam proses penelitian lapangan nantinya. Lies Marcoes dan Theresia Dyah, selaku peneliti utama, akan memastikan masukan tersebut diaplikasikan dan dapat membantu mereka dalam menggali informasi di lapangan. Rencana penelitian akan dijadwalkan pada awal November hingga pertengahan Desember 2019.
Setelah mendapatkan hasil penelitian tersebut, Jaringan AKSI berencana akan melakukan advokasi kepada Kementerian Desa dan Kementerian Dalam Negeri selaku dua kementerian yang membawahi peraturan-peraturan daerah dan peraturan desa, guna mengadvokasikan agar regulasi di tingkat lokal terkait pencegahan perkawinan anak dapat lebih melindungi hak anak, terutama anak perempuan. [FP]
Leave a Reply